Panahan Tradisional Mataram
Oleh ; RT. Cahya Surya Harsakya S.Sn.
Lelangen, sesukan atau olah raga panahan sejak jaman dahulu telah menjadi budaya masyarakat dan budaya keraton. Selain sebagai olah raga, panahan merupakan galadi atau olah keperwiraan dan kridha keprajuritan. Budaya panahan merupakan budaya yang pada jaman dahulu akrab dengan masyarakat, para bangsawan, para satria, yang selalu melatih diri dalam ketrampilan. Seorang satria, menurut Sultan Agung Hanyakrakusuma harus menguasai ketrampilan olah curiga (keris), olah kara (pedang), Olah buntara (tombak) dan Olah warastra (panah). Olah kridha panahan adalah hal yang wajib dikuasai seorang ksatria, prajurit , bangsawan, sampai menurun kepada kalangan masyarakat Jawa.
Dalam lingkungan masyarakat
Surakarta, yang
dahulunya adalah wilayah Kerajaan Mataram
Islam,
lelangen
Panahan tidak asing lagi, tumbuh subur dikalangan rakyat maupun Keraton. Pada
kira kira tahun 1960 di lingkungan daerah Surakarta masih terdapat
banyak lapangan panahan yang secara rutin
masih selalu dipakai untuk kegiatan latihan panahan . Lapangan panahan
yang ada dikalangan masyarakat cukup banyak, seperti lapangan panahan tanggul Dhawung , lapangan
panahan Sangkrah, Kampung sewu, lapangan panahan Manahan, Lapangan panahan Prawit, Lapangan panahan
Putri Cempa, Gondang, lapangan panahan Jagalan. dan masih ada beberapa lapangan
panahan lain yang biasanya memilih daerah yang sepi. Selain itu juga lapangan
panahan yang ada ditingkat kaum bangsawan seperti lapangan panahan Langen Harjo, lapangan
panahan Alun–alun Selatan Kraton
Surakarta,
lapangan panahan dalam keraton Surakarta, lapangan panahan Dalem Suryahamijayan,
Baluwarti, lapangan panahan Pamedan Mangkunegaran, dan lapangan panahan di
Tirtonadi yang dahulu dipakai latihan panahan untuk para bangsawan. dari jumlah
lapangan panahan yang diketahui maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
panahan di masa lalu memang akrab dengan
lingkungan kehidupan masyarakat
Surakarta.
Penurunan kegiatan panahan mula
mula terjadi pada Jaman Pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang
di Indonesia, orang orang takut berlatih panahan, karena Jepang melarang Segala kegiatan olah senjata kalaupun orang
berlatih panahan akan dilakukan secara sembunyi–sembunyi. Setelah pendudukan
Jepang, menyusul Revolusi Phisik mempertahan kemerdekaan panahan telah tenggelam dalam hiruk
pikuknya perjuangan revolusi dan
peperangan mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Belanda. Sejak Kemerdekaan
Indonesia, maka kegiatan latihan panahan muncul kembali seperti diketahui bahwa di
Surakarta mulai kembali muncul lapangan untuk latihan panahan sebanyak 11
lapangan untuk latihan panahan.
Masa tahun 1970 mulai berjayanya PERPANI atau Persatuan Panahan
Indonesia yang merupakan induk dari cabang
olah raga panahan di seluruh Indonesia. Panahan Tradisional menjadi salah satu
Ronde yang diakui dan dipertandingkan dalam arena
pertandingan olah raga, seperti PORDA
(sekarang PORPROV), Sirkuit panahan daerah, Kejurda,
POPDA, PON, ada pertandingan lain yang diadakan secara resmi untuk olah raga
Panahan. Dalam berbagai event olahraga panahan,
banyak diantaranya atlet
panahan dari
Surakarta yang telah berhasil memboyong penghargaan
dan menjadi juara, berupa
medali, piagam, thropy, piala,
yang
dipersembahkan kepada masyarakat Surakarta.
Tetapi sayangnya, bahwa Keraton
Mangkunegaran seakan–akan
masa kini telah terputus dari kegiatan kridha panahan ini, karena kesenjangan jarak antara
masyarakat olah raga dan
kondisi Keraton Mangkunegaran
Sendiri pada masa sekarang.
Pada hal pada masa lalu, kegiatan Kridha Panahan akrab dengan kehidupan Keraton eks–Mataram. Dimana Panahan
merupakan Lelangen, Olah Raga, olah
keperwiraan, dan olah
keprajuritan. Oleh karena itu panahan
tradisional tersebut diberi nama cabang panahan gaya tradisional Mataram. Namun
kegiatan panahan yang pada masa lalu hidup bersama
budaya Kraton Mataram
sekarang terasa luntur dan hilang.